Saturday, December 20, 2008

Teori Ekonomi Keynes

Keynes berpendapat bahwa sistem Leissez Faire murni tidak bisa dipertahankan. Pada tingkat makro, pemerintah harus secara aktif dan sadar mengendalikan perekonomian ke arah posisi “Full Employment”-nya, sebab mekanisme otomatis ke arah posisi tersebut tidak bisa diandalkan secara otomatis.

Menurut Keynes, situasi makro suatu perekonomian ditentukan oleh apa yang terjadi dengan permintaan agregat masyarakat apabila permintaan agregat melebihi penawaran agregat (atau output yang dihasilkan) dalam periode tersebut, maka akan terjadi situasi “kekurangan produksi”. Pada periode berikutnya output akan naik atau harga akan naik, atau keduanya terjadi bersama-sama.

Apabila permintaan agregat lebih kecil daripada penawaran agregat, maka situasi “kelebihan produksi” terjadi. Pada periode berikutnya output akan turun atau harga akan turun, atau keduanya terjadi bersama-sama.

Inti dari kebijakan makro Keynes adalah bagaimana pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat (dengan demikian, mempengaruhi situasi makro), agar mendekati posisi “Full Employment”-nya.

“Permintaan Agregat” adalah seluruh jumlah uang yang dibelanjakan oleh seluruh lapisan masyarakat untuk membeli barang dan jasa dalam satu tahun. Barang dan jasa diartikan sebagai barang dan jasa yang diproduksikan dalam tahun tersebut (barang bekas atau barang yang diproduksikan tahun-tahun sebelumnya atau barang yang tidak diproduksikan seperti tanah, tenaga kerja dan faktor produksi lain, tidak termasuk dalam pengertian “barang dan jasa” dimaksud disini).

Dalam perekonomian tertutup permintaan agregat terdiri dari 3 unsur:

Pengeluaran Konsumsi oleh Rumah Tangga (C)

Pengeluaran Investasi oleh Perusahaan (I)

Pengeluaran Pemerintah (G), Pemerintah bisa mempengaruhi permintaan agregat secara langsung melalui pengeluaran pemerintah dan secara tidak langsung terhadap pengeluaran konsumsi dan pengeluaran investasi.

Z = C+I+G

Masing-masing unsur permintaan agregat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda. Pengeluaran konsumsi tergantung pada pendapatan yang diterima oleh Rumah Tangga dan kecenderungan berkonsumsinya (propincity to consume). Pengeluaran investasi ditentukan oleh keuntungan yang diharapkan (marginal efficiency of capital) dan biaya dana (tingkat bunga). Pengeluaran pemerintah ditentukan oleh proses politik yang kompleks dan dalam teori makro dianggap “eksogen”.

Perubahan dari unsur-unsur permintaan agregat (pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi dan pengeluaran pemerintah) mempengaruhi tingkat permintaan agregat melalui proses berantai atau proses multiplier. Bila unsur ini meningkat dengan Rp. 1 maka tingkat permintaan agregat akan meningkat dengan suatu kelipatan dari Rp. 1. pelipat atau multiplier ini tergantung pada besarnya marginal propensity to consume.

Teori Ekonomi Klasik

Dasar filsafat; perekonomian yang didasarkan pada sistem bebas berusaha (Laissez Faire) adalah self-regulating, artinya mempunyai kemampuan untuk kembali ke posisi keseimbangan secara otomatis. Pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perekonomian.

Di Pasar Barang sifat self-regulating ini dicerminkan oleh adanya proses yang otomatis membawa kembali ke posisi GDP yang menjamin full-employment, apabila karena sesuatu hal perekonomian tidak pada posisi ini. Landasan dari keyakinan ini adalah;

  • Berlakunya hukum Say yang menyatakan bahwa “Supply creates its own demand,”
  • Anggapan bahwa semua harga fleksibel

Di Pasar Tenaga Kerja, dalam jangka pendek hanya ada pengangguran sukarela. Tetapi pengangguran inipun hanya bersifat sementara, karena apabila harga-harga turun (termasuk upah), maka konsumsi dan produksi akan kembali lagi ke tingkat semua (yaitu full employment).

Di Pasar Uang, terdapat teori kuantitas yang menyatakan bahwa permintaan akan uang adalah proporsional dengan nilai transaksi yang dilakukan masyarakat. Di Pasar ini ditentukan tingkat harga umum; apabila jumlah uang yang beredar (penawaran akan uang) naik maka tingkat hargapun naik.

Dalam sistem standar kertas, tidak ada proses otomatis yang menstabilkan tingkat harga. Disini kaum klasik melihat satu-satunya peranan makro pemerintah, yaitu mengendalikan jumlah uang beredar sesuai dengan kebutuhan transaksi masyarakat.

Di dalam sistem standar emas, ada mekanisme otomatis yang menjamin kestabilan harga. Disini peranan pemerintah tidak dianggap perlu, sebab jumlah uang (emas) yang beredar akan otomatis menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat.

Di Pasar Luar Negeri, mekanisme otomatis menjamin keseimbangan neraca perdagangan melalui:

  • Mekanisme Hume, dalam sistem standar emas, atau
  • Mekanisme kurs devisa mengambang, dalam sistem standar kertas.

Campur tangan pemerintah tidak diperlukan.

Teori dalam Administrasi Publik

Oleh : M. Sururi

Teori adalah rangkaian ide mengenai bagaimana dua variabel atau lebih berhubungan. Terdapat beberapa kelompok teori dalam administrasi
negara, antara lain:

1) Teori deskriptif eksplanatif, merupakan teori yang bersifat memberi penjelasan secara abstrak realitas administrasi negara. Misalnya teori yang menjelaskan tentang ketidakmampuan administratif.

2) Teori normatif, yaitu teori yang bertujuan menjelaskan situasi masa mendatang, idealnya dari suatu kondisi. Misalnya teori tentang kepemimpinan ideal masa depan.

3) Toeri Asumtif, yaitu terori-teori yang menekankan pada prakondisi, anggapan adanya suatu realitas sosial dibalik teori atau proposisi. Misalnya Teori X dan Y dari McGregor yang menyakan manusia mempunyai kemampuan baik (Y) dan kurang baik (X).

4) Teori Instrumental, yaitu teori-teori yang memfokuskan pada “bagaimana dan kapan”, lebih pada penerapan atau aplikasi dari teori. Misalnya teori tentang kebijakan, bagaimana kebijakan dijalankan dan kapan waktunya.

Isu-isu Penting

Oleh : M. Sururi

Ada beberapa isu atau permasalan penting yang sering dibahas dalam ilmu
administrasi negara antara lain :

1) Pelayanan publik
Administrasi publik sebagai proses administrasi for publik, pada hakekatnya adalah memberi pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan demokrasi yang mana masyarakat mempunyai hak yang sama untuk menerima pelayanan dari pemerintah. Dalam masalah ini yang terpenting adalah bagaimana pemerintah/negara memberikan pelayanan yang baik, cepat dan berkualitas kepada seluruh warga masyarakat.

2) Motivasi Pelayanan Publik
Dalam masalah ini isu terpenting adalah membahas motivasi seperti apa yang dimiliki oleh administrator dalam memberikan pelayanan publik. Ada yang berdasarkan norma, rasional dan perasaan.

3) Maladministrasi
Maladministrasi merupakan kesalahan dalam praktekt administrasi. Pembahasan teori administrasi publik juga akan membahas masalah kesalahan-kesalahan tersebut sebagai kajian utama, seperti lambannya birokrasi, rutinitas dan formalitas pelayanan.

4) Etika Administrasi Publik
Masalah penting lainnya dalam administrasi publik adalah etika administrasi. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah nilai baik dan buruk. Apakah pelayanan atau prosedur administrasi publik dinilai baik atau buruk oleh masyarakat. Dalam hal ini termasuk korupsi menjadi bahasan utama.

5) Kinerja dan Efektivitas
Seringkali masalah kinerja dan efektivitas menjadi isu sentral dari administrasi publik. Hal tersebut dipahami karena administrasi sebagai proses mencapai tujuan, maka persoalan pencapaian dan dan cara mencapai tersebut menjadi penting. Oleh karena itu bagaimana cara kerja (kinerja) yang dijalankan apakah sudah baik sehingga tujuan dapat tercapai (efektif).

6) Akuntabilitas Publik
Administrasi publik yang dijalankan oleh pemerintah harus bisa dipertanggungjawabkan kepada seluruh warga. Ada kewajiban untuk melakukan pekerjaan yang dapat dikontrol, diawasi dan dipertanggungjawabkan kepada warga/publik. Hal tersebut merupakan masalah pokoknya.

Paradigma Administrasi Publik

Oleh : Ari Teguh N. & M. Sururi

Paradigma adalah teori dasar atau cara pandang yang fundamental, dilandasi nilai-nilai tertentu, dan berisikan teori pokok, konsep, metodologi atau cara pendekatan yang dapat dipergunakan para teoritisi dan praktisi dalam menanggapi sesuatu permasalahan baik dalam pengembangan ilmu maupun kemajuan hidup. Dalam ilmu administrasi publik terdapat beberapa paradigma antara lain:

1. Paradigma dikotomi politik dan administrasi negara. Paradigma ini rentang waktunya sekitar 1900-1926. Fokusnya terbatas pada masalah-masalah organisasi dan penyusunan anggaran dalam birokrasi pemerintahan, politik dan kebijakan merupakan substansi ilmu politik. Tokoh-tokohnya Frank J. Goodnow dan Leonard D. White. Dimulainya paradigma ini setelah terbit buku Frank J. Goodnow dan Leonard D. White yang berjudul politics and administration. Buku itu menjelaskan tentang fungsi-fungsi pemerintahan yang terdiri dari politik dan administrasi. Dimana politik berfungsi sebagai pembuat kebijakan, sedangkan administrasi berfungsi sebagai implementator kebijakan.

Kemudian terbit buku Leonard D. White yang berjudul Intruduction to the Study of Public Administration yang menjelaskan bahwasannya administrasi negara itu dapat berdiri sendiri, terpisah dari ilmu politik.

2. Paradigma Prinsip-prinsip administrasi. Paradigma ini rentang waktunya sekitar 1927-1937. Dimulai oleh terbitnya buku W.F. Willoughby yang berjudul Prinlciples of Public Administration. Locusnya kurang dipentingkan. Fokusnya adalah “prinsip-prinsip” manajerial yang dipandang berlaku universal pada setiap bentuk organisasi dan lingkungan budaya. Di sini administrasi negara mendapat banyak sumbangan dari ilmu-ilmu lain. Tokohnya adalah Gulick dan Urwick, F.W.Taylor, Henry Fayol, Mary Parker Follet, dan W.F. Willooghby.

3. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik. Rentang waktunya sekitar 1950-1970. Administrasi negara kembali menjadi bagian dari ilmu politik. Pelaksanaan prinsip-prinsip administrasi sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor lingkunga, jadi tidak “value free” (bebas nilai). Tokoh pardigma ini adalah Nicholas Henry.

4. Paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi. Administrasi tetap menggunakan prinsip administrasi yang dipengaruhi berbagai faktor, oleh karena itu dalam paradigma ini mengembangkan adanya pemahaman sosial psikologi, dan analisis sistem untuk melengkapi. Tokoh paradigma ini adalah Henderson,
Thompson, Caldwen.

5. Paradigma administarasi negara sebagai ilmu administrasi negara. Di sini administarasi negara sudah menemukan jati dirinya sebagai ilmu yang mandiri.

Pengertian Administrasi Publik

Oleh : M. Sururi

Administrasi publik terdiri dari dua kata, yaitu administrasi dan publik. Administrasi diartikan sebagai kegiatan atau kerjasama dalam rangka mencapai tujuan yang sudah ditentukan atau diarahkan. Definis lainnya yang dapat diajukan adalah kegiatam implementasi kebijakan. Sedangkan publik dapat diartikan sebagai negara, klien, konsumen, warga masyarakat, dan kelompok kepentingan. Tetapi dalam wacana di Indonesia lebih berkembang administrasi publik disamakan dengan administrasi negara.

Dari pengertian dua kata tersebut, maka administrasi publik dapat diartikan sebagai sebuah proses menjalankan keputusan/kebijakan untuk kepentingan negara, warga masyarakat. Terdapat pengertian yang singkat, administrasi publik merupakan metode pemerintahan negara (proses politik) administration of publik, for public dan by public. Dengan demikian administrasi publik merupakan proses pemerintahan publik, untuk publik dan oleh publik.

Revitalisasi Administrasi Publik

Pembangunan yang berkelanjutan menuntut administrasi publik yang tanggap terhadap masalah-masalah yang dihadapi lingkungan masyarakat, baik itu lingkungan fisik-alam, maupun lingkungan sosial. Dalam hal lingkungan alam, administrasi publik dituntut untuk mampu mengatur tata ruang dan menjaga pelaksanaannya (enforcement), disamping mengatasi masalah-masalah yang sudah ada sekarang seperti pengendalian emisi CO2 dan pengelolaan limbah.

Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).

Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).

Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996).

Namun pembangunan berkelanjutan seperti digaris bawahi di atas bukan hanya masalah lingkungan alam tetapi juga lingkungan sosial. Untuk itu diperlukan reformasi administrasi publik yang menyeluruh dari pusat sampai daerah.

Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebut introjection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.

Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).

Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan. Sebagai akibat ketertutupan, masalah-masalah dan pikiran-pikiran pembaharuan tidak mudah diterima. Juga ada kecemburuan terhadap jabatan yang dipegang dan rasa keenggangan untuk berbagi pengalaman dan kewenangan. Ketertutupan juga adalah untuk menyembunyikan ketidakmampuan dan menggambarkan keengganan menerima kritik. Mengembangkan sikap keterbukaan dengan demikian amat penting dalam upaya menyempurnakan birokrasi. Keterbukaan akan merangsang perbaikan melalui saling-silang gagasan (cross-fertilization).

Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban. Padahal birokrasi bukan kekuasaan yang berdiri sendiri, melainkan alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar sehingga tindak tanduknya harus selalu dapat diawasi dan dipertanggungjawabkan. Pertanggung jawaban itu dalam konsep birokrasi yang lama bersifat hirarkis dari bawah ke atas, di dalam struktur organisasi. Dalam kehidupan masyarakat demokratis yang makin canggih dan terbuka, masyarakat menuntut agar setiap pejabat siap menjelaskan dan dapat mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik. Kesemua itu membutuhkan perubahan sikap dari birokrasi yang sifatnya mendasar. Pembaharuan sikap yang demikian akan menghasilkan birokrasi yang makin tanggap dalam menghadapi tantangan dan lebih tangkas dalam memanfaatkan peluang dan mengatasi masalah. Tetapi juga makin peka terhadap kebutuhan, tuntutan, dan dinamika masyarakat.

Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan. Partisipasi pada lapisan bawah (grassroots) yang efektif adalah apabila diselenggarakan secara bersama dalam lingkup kelompok-kelompok masyarakat (local communities), dengan memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) dan kekhasan lokal (local specifics). Bentuk dan cara partisipasi seperti itu akan menghasilkan sinergi dan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati oleh semua orang yang ikut serta di dalamnya. Merupakan tugas birokrasi untuk merangsang terjadinya partisipasi dan kegiatan kelompok masyarakat serupa itu dalam rangka membangun masyarakat secara berkesinambungan.

Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat patenal (patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukup hakiki. Pandangan ini ditopang oleh konsep Reinventing Government dari Osborn dan Gaebler (1992) serta pandangan-pandangan dari New Public Management: yang menuntut harus adanya ukuran terhadap performance (kinerja) dan bukan hanya terhadap proses. Administrasi publik harus result oriented dan bukan hanya effort oriented. Dr. Fadel Muhammad (2007) telah mempraktikan paradigma baru ini sebagai Gubernur di Provinsi Gorontalo. Pengalaman empirisnya telah dijadikan dasar penelitian dan disertasi Doktor di Universitas Gadjah Mada baru-baru ini.

Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivilaged). Sikap keberpihakkan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah. Untuk itu, hambatan psikologis harus diatasi karena birokrasi (terutama dilapisan atas yang justru menentukan) pada awalnya timbul dari kelompok elite, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan atau mengasosiasikan diri dengan rakyat kecil.

Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak. Selain itu, brokrasi juga bekerja atas dasar kepercayaan, karena seorang birokrat bekerja untuk negara dan berati juga untuk rakyat. Berkaitan dengan itu, belakangan ini banyak kepustakaan etika administrasi yang membahas dan mengkaji etika kebajikan (ethics of virtue). Etika ini berbicara mengenai karakter yang dikehendaki dari seorang administrator. Konsep ini merupakan koreksi terhadap paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rule), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk sistem insentif dan disinsentif serta sanksi-sanksi berdasarkan aturan.

Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi. Sesungguhnya dengan desentralisasi dan otonomi terjawab banyak sekali persoalan; salah satu diantaranya adalah rentang kendali manjemen publik. Dengan desentralisasi dan otonomi, rentang kendali tersebut dapat lebih dipersingkat. Namun konsekuensinya pada sistem birokrasi harus diperhitungkan. Kewenangan-kewenangan yang lebih besar yang diberikan kepada daerah harus diikuti dengan peningkatan kemampuan baik SDM maupun institusi di daerah untuk melaksanakan pekerjaan yang selama ini menjadi urusan pusat.

Paradigma Administrasi Publik

Mampukah administrasi publik mengemban amanat tersebut? Marilah kita tengok sejenak perkembangannya.

Administrasi publik lama

Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi.

Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.

Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publik modern tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul ”The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masa itu.

Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan didalam tulisannya yang diberi judul, ”The Study of Adminisration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satu abad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.

Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.

Menjelang dan memasuki Perang Dunia II program sosial yang besar, seperti New Deal di Amerika Serikat dan pengendalian mesin perang telah menampilkan administrasi publik pada tataran yang makin menonjol. Program rehabilitasi pasca perang dunia serta bangkitnya negara-negara baru yang sebelumnya adalah wilayah-wilayah jajahan makin memperbesar peran administrasi publik.

Upaya mengembangkan administrasi sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri diperkuat dengan studi perbandingan administrasi publik, antara lain dengan dibentuknya Comparative Administration Group (CAG) pada tahun 1960 oleh para pakar administrasi, seperti John D. Montgomery, William J. Siffin, Dwight Waldo, George F. Grant, Edward W. Weidner, dan Fred W. Riggs. Dari CAG inilah lahir konsep administrasi pcmbangunan (development administration), sebagai bidang kajian baru. Kelahirannya didorong oleh kebutuhan membangun administrasi di negara-negara berkembang.

Pada dua dasawarsa akhir abad ke 20, dunia kembali mengalami perubahan besar. Runtuhnya komunisme dan terjadinya proses globalisasi telah menimbulkan kebutuhan akan pendekatan-pendekatan baru dalam ilmu-ilmu sosial.

Administrasi publik baru

Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.

Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).

Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.

Drucker (1989) menegaskan bahwa apa yang dapat dilakukan lebih baik atau sama baiknya oleh masyarakat, hendaknya jangan dilakukan oleh pemerintah. Itu tidak berarti bahwa pemerintah harus besar atau kecil, tetapi pekerjaannya harus efisien dan efektif. Seperti juga dikemukakan oleh Wilson (1989), birokrasi tetap diperlukan tetapi harus tidak birokratis. Osborne dan Gaebler (1993) mencoba “menemukan kembali pemerintah", dengan mengetengahkan konsep entrepreneurial government.

Memasuki dasawarsa 80-an tampil manajemen publik (public management) sebagai bidang studi yang makin penting dalam administrasi negara. Manajemen publik yang di masa lalu lebih banyak memberi perhatian pada masalah anggaran dan personil telah berkembang bersama teknologi informasi. Manajemen publik kini juga mencakup manajemen dalam sistem pengambilan keputusan, sistem perencanaan, sistem pengendalian dan pengawasan, serta berbagai aspek lainnya.

Bersamaan dengan menguatnya pengaruh managerialism dalam administrasi publik di Inggris dan beberapa negara lainnya, dan kemudian juga di Amerika Serikat muncul pemikiran baru dengan konsep ”New Public Management” (NPM); pemikiran ini digagas oleh Patrick Dunleavy (1991) beserta rekan-rekannya. Konsep ini memfokuskan pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik. Dan yang cukup mendasar pula adalah didorongnya swasta melakukan kegiatan yang sebelumnya merupakan wilayah kerja birokrasi dalam pemerintah. Konsekwensi dari penerapan konsep tersebut adalah perlunya reformasi birokrasi secara kelembagaan.

Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nilai-nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Perkembangan paradigma dalam ekonomi pembangunan berjalan sejalan dengan paradigma administrasi publik yang berkembang sejak dekade 1990-an hingga dekade 2000-an, yaitu telah bergeser dari paradigma pengembangan administrasi semata (empowering the administration) kepada paradigma pemberdayaan masyarakat sebagai mitra dalam administrasi publik (empowering the people to become partners in public administration). Paradigma perkembangan administrasi publik yang mengarah kepada demokratisasi administrasi publik merupakan perwujudan dari pergeseran paradigma government kepada paradigma governance.

Selain itu pesatnya perkembangan teknologi informasi telah menjadikan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi serba elektronik. Istilah e-government dan e-governance merupakan cerminan dari penerapan teknologi informasi dalam administrasi publik. Dengan berkembang pesatnya teknologi informasi maka dapat diprediksi bahwa di masa datang akan terjadi gelombang perubahan yang besar lagi dalam paradigma administrasi publik.

Patologi birokrasi

Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.

Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.

Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.

Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence).

Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika.

Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.

Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.

Terhadap analisis dari Heady ini dapat ditambahkan dua karakteristik hasil pengamatan Wallis (1989). Pertama, di banyak negara berkembang birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien dan menjadi sumber dana politik atau pusat terjadinya korupsi. Kedua, unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections).

Reformasi dan revitalisasi publik adalah pekerjaan menghilangkan atau mengurangi kadar kelemahan-kelemahan patologis birokrasi tersebut di atas.

Friday, December 19, 2008

Pembangunan Berkelanjutan

Kesinambungan lingkungan alam

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan pendekatan proses “socio-ecological”, artinya suatu proses pembangunan yang bercirikan pemenuhan kebutuhan umat manusia seraya memperhatikan dan memelihara kualitas lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan muncul pertama kali pada tahun 1980 ketika the Union for theConservation of Nature, menerbitkan strategi pelestarian dunia dengan judul ”The World Conservation Strategy”. Dalam laporan itulah untuk pertama kalinya tampil istilah ”sustainable development”. Selanjutnya konsep tersebut menjadi istilah yang dipakai diseluruh dunia, terutama setelah diterbitkannya laporan dari the World Commission on Environment and Development (UN, 1987) , yang dibentuk oleh PBB. Menurut komisi ini yang dikenal juga sebagai Komisi Brundtland, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai:
“Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.

Keadaan dikatakan tidak berkelanjutan manakala ”natural capital”, atau sumber daya alam yang ada, dimanfaatkan atau bahkan dirusak dengan kecepatan yang sangat besar dibandingkan dengan kecepatan pemulihannya. Kerusakan karena keserakahan manusia tidak hanya dirasakan oleh masyarakat setempat, tetapi akan mengancam kehidupan umat manusia secara global, dan yang lebih fatal lagi adalah dampaknya bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang.

Pengurasan kawasan hutan, terutama hutan tropis seperti yang ada di Indonesia, bersamaan dengan meningkatnya emisi CO2 oleh industri, alat transport dan rumah tangga telah membuat terjadinya peningkatan suhu dipermukaan bumi (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Kerusakan ekosistem juga menyebabkan bencana yang kronis di tanah air kita, seperti banjir dan tanah longsor pada musim hujan, dan kekeringan yang menyebabkan kebakaran hutan dan rusaknya tanaman pada musim kemarau. Kebutuhan industri dan pemukiman telah mengurangi areal hutan dan sawah serta membuat kering sungai-sungai dan danau-danau. Situ-situ di Jawa Barat misalnya, yang bukan hanya membuat provinsi itu subur tetapi juga telah menjadi sumber budaya serta inspirasi di tatar Sunda, kebanyakan telah kering dan berubah fungsi.

Pola pembangunan seperti ini jelas tidak bisa berlanjut. Kalaupun ada pertumbuhan atau peningkatan kesejahteraan yang dihasilkannya, tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Bahkan yang terjadi bukan kemajuan tetapi kemunduran dalam taraf hidup dan peradaban manakala daya dukung alam telah sungguh-sungguh menjadi defisit dan dunia telah tidak dapat lagi menunjang kehidupan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian pola pembangunan serupa itu tidak adil, karena hanya dinikmati sesaat oleh generasi sekarang tetapi menimbulkan bencana bagi generasi mendatang.

Pola pembangunan berkelanjutan yang harus dikembangkan, adalah yang akan menjamin biaya sosial yang rendah, menjamin manfaat yang maksimal dan berkelanjutan, serta menjamin estafet pembangunan, secara terus menerus. Ada dua persyaratan yang secara umum harus diperhatikan, yaitu (1) kesesuaian sosial budaya dan sosial ekonomi, dan (2) kesesuaian ekologi-alam.

Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu memeliharanya. Pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekologis akan mengikuti kecenderungan siklus alamiah dan akan mendapat hambatan minimum secara alamiah, sehingga mudah dan murah memeliharanya serta dapat me-ningkatkan kemampuan ekosistem untuk mengadopsinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Pengalaman memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya ekosistem itu mampu memelihara dirinya sendiri asal tidak dirusak oleh manusia sendiri.


Pembangunan Yang Berkelanjutan = Pembangunan Yang Berkeadilan

Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya bertepatan atau sesuai dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). Suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila dilaksanakan oleh dan hasilnya dirasakan secara meluas dan merata. Dengan basis perekonomian yang lebih luas tidak terpusat pada perorangan, sekelompok orang atau perusahaan, atau daerah tertentu ketahanan perekonomian nasional terhadap goncangan-goncangan ekonomi eksternal dan internal menjadi lebih kukuh. Inti dari semua itu adalah pentingnya mengembangkan ekonomi rakyat sekaligus mengamankan keberlangsungan pembangunan nasional.

Arah perkembangan ekonomi seperti itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Bahkan pengalaman empiris menunjukkan bahwa dengan hanya pendekatan pertumbuhan yang terjadi justru adalah sebaliknya, yaitu makin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi; yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin atau bahkan makin miskin. Masalah utamanya, adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan.

Salah satu upaya mengatasi tantangan itu adalah melalui strategi pemberdayaan masyarakat.Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain, memberdayakannya.

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering and sustainable" (Chambers, 1995).

Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumberdaya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demi-kian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.

Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern –seperti kerja keras, disiplin, taat azas, taat waktu, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban—adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat, kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi.

Kesemuanya itu merupakan tantangan yang dihadapkan kepada negara, yang berkewajiban untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Dengan sendirinya aparat negara atau administrasi publik-lah yang memegang tanggung jawab utama mewujudkan berbagai cita-cita dan keinginan membangun kehidupan yang lebih baik itu.

Thursday, April 24, 2008

Maslow’s Hierarchy of Needs

Motivation is a very personal topic. What motivates one person does not necessarily motivate another person. As a supervisor or a manager, it is incumbent on you to determine what motivates each and every none of your employees. There are instruments available on the market which can help, but the best way to figure out what your employees find motivating is to talk to them.

One of you most important duties as a manager is to find new ways to continually motivate your people. Motivation is at the heart of being a supervisor. Keep in mind that in addition to different people having different motivational needs and wants, these needs and wants change depending on the situation.
Developing an open relationship with your employees where you can come to understand their personal preferences is the best method for consistently setting up situations in which your people can continually develop and grow.

1. Know the Basis of Maslow’s Theory
Nobody can motivate another person to perform a given task. What is possible, however, is to create the circumstances and environment where the employee will be satisfied given the situation and incentives provided. Maslow believed that a person’s needs are the most important factor in determining motivation, the priorities assigned to a task, and the behaviors exhibited.. Maslow’s theory separated needs in to distinct levels, which he categorized in to five groups.. Malslow states that for a person to be motivated to move up in the pyramid, he or she must first satisfy (at least partially) the lower level of needs.

2. Maslow’s Hierarchy
The first level of Survival. These are the basic needs for life, such as food, shelter, and a place to sleep. The second level is Security. These needs include safety from harm, the avoidance of pain and the needs to establish some sort of order in one’s life. The third level is Social. These needs are more interpersonal and include such things as the need to establish friendships, interaction with others, and the needs for affection. The fourth level is Self-Esteem. These needs include the need for special recognition, achievement, power, and rewards. The fifth level is Self-Actualization. These are the highest level needs and are the most difficult to satisfy since they include the need for increased challenge and growth, and the idea that a person has achieved the pinnacle; a long sought after goal.

3. Putting Maslow’s Theory Into Perspective
Since all the employees you supervise are currently employed, they have probably satisfied their survival needs, and possibly their security needs. You should focus your motivational efforts at setting up the environment so your people can achieve theory social and self-esteem needs. Most employees in studies conducted about motivation rated recognition or praise the highest (in terms of what they desire from their supervisor).


Motivational Tools

A. Positive Reinforcement
A good way to reinforce the desired behavior is to reward it immediately following the event. This reward can take the form of verbal praise, not necessarily monetary rewards. Using rewards reinforces the individual seeking the need for self-esteem since praise and recognition for positive work performance help to satisfy the need.
Using positive reinforcement is the best way to institute long-term behavioral changes in an employee. When you use punishment and ignoring, you are not reinforcing the behavior you are looking to promote in the employee. There will be situations when you need to and should use these two techniques, but you need to also use positive reinforcement when the employee engages in the desired behavior.

B. Punishment
This technique prevents an employee from satisfying his or her needs. For example, is an employee is continually late meeting deadlines, you may decide to take him off a task he enjoys participating in. When negative behavior is followed by consequences, this can cause the behavior to cease.

C. Ignoring
This technique can be used when behavior deserves neither positive reinforcement nor punishment. For example, an employee who makes it to work on time every day or completes an administrative task on time may not be deserving of special recognition.

www.audaxsolutions.com