Kesinambungan lingkungan alam
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan pendekatan proses “socio-ecological”, artinya suatu proses pembangunan yang bercirikan pemenuhan kebutuhan umat manusia seraya memperhatikan dan memelihara kualitas lingkungan hidup. Paradigma pembangunan berkelanjutan muncul pertama kali pada tahun 1980 ketika the Union for theConservation of Nature, menerbitkan strategi pelestarian dunia dengan judul ”The World Conservation Strategy”. Dalam laporan itulah untuk pertama kalinya tampil istilah ”sustainable development”. Selanjutnya konsep tersebut menjadi istilah yang dipakai diseluruh dunia, terutama setelah diterbitkannya laporan dari the World Commission on Environment and Development (UN, 1987) , yang dibentuk oleh PBB. Menurut komisi ini yang dikenal juga sebagai Komisi Brundtland, pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai:
“Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”.
Keadaan dikatakan tidak berkelanjutan manakala ”natural capital”, atau sumber daya alam yang ada, dimanfaatkan atau bahkan dirusak dengan kecepatan yang sangat besar dibandingkan dengan kecepatan pemulihannya. Kerusakan karena keserakahan manusia tidak hanya dirasakan oleh masyarakat setempat, tetapi akan mengancam kehidupan umat manusia secara global, dan yang lebih fatal lagi adalah dampaknya bagi kehidupan manusia di masa yang akan datang.
Pengurasan kawasan hutan, terutama hutan tropis seperti yang ada di Indonesia, bersamaan dengan meningkatnya emisi CO2 oleh industri, alat transport dan rumah tangga telah membuat terjadinya peningkatan suhu dipermukaan bumi (global warming) dan perubahan iklim (climate change). Kerusakan ekosistem juga menyebabkan bencana yang kronis di tanah air kita, seperti banjir dan tanah longsor pada musim hujan, dan kekeringan yang menyebabkan kebakaran hutan dan rusaknya tanaman pada musim kemarau. Kebutuhan industri dan pemukiman telah mengurangi areal hutan dan sawah serta membuat kering sungai-sungai dan danau-danau. Situ-situ di Jawa Barat misalnya, yang bukan hanya membuat provinsi itu subur tetapi juga telah menjadi sumber budaya serta inspirasi di tatar Sunda, kebanyakan telah kering dan berubah fungsi.
Pola pembangunan seperti ini jelas tidak bisa berlanjut. Kalaupun ada pertumbuhan atau peningkatan kesejahteraan yang dihasilkannya, tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Bahkan yang terjadi bukan kemajuan tetapi kemunduran dalam taraf hidup dan peradaban manakala daya dukung alam telah sungguh-sungguh menjadi defisit dan dunia telah tidak dapat lagi menunjang kehidupan dan kebutuhan manusia. Dengan demikian pola pembangunan serupa itu tidak adil, karena hanya dinikmati sesaat oleh generasi sekarang tetapi menimbulkan bencana bagi generasi mendatang.
Pola pembangunan berkelanjutan yang harus dikembangkan, adalah yang akan menjamin biaya sosial yang rendah, menjamin manfaat yang maksimal dan berkelanjutan, serta menjamin estafet pembangunan, secara terus menerus. Ada dua persyaratan yang secara umum harus diperhatikan, yaitu (1) kesesuaian sosial budaya dan sosial ekonomi, dan (2) kesesuaian ekologi-alam.
Pembangunan yang sesuai dengan kondisi sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya akan memberi manfaat yang maksimal bagi masyarakat, dan dengan demikian masyarakat akan mampu memeliharanya. Pola pembangunan yang sesuai dengan kondisi ekologis akan mengikuti kecenderungan siklus alamiah dan akan mendapat hambatan minimum secara alamiah, sehingga mudah dan murah memeliharanya serta dapat me-ningkatkan kemampuan ekosistem untuk mengadopsinya sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Pengalaman memberikan pelajaran bahwa sesungguhnya ekosistem itu mampu memelihara dirinya sendiri asal tidak dirusak oleh manusia sendiri.
Pembangunan Yang Berkelanjutan = Pembangunan Yang Berkeadilan
Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Tuntutan ini sesungguhnya bertepatan atau sesuai dengan konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development). Suatu pembangunan dapat berkesinambungan apabila dilaksanakan oleh dan hasilnya dirasakan secara meluas dan merata. Dengan basis perekonomian yang lebih luas tidak terpusat pada perorangan, sekelompok orang atau perusahaan, atau daerah tertentu ketahanan perekonomian nasional terhadap goncangan-goncangan ekonomi eksternal dan internal menjadi lebih kukuh. Inti dari semua itu adalah pentingnya mengembangkan ekonomi rakyat sekaligus mengamankan keberlangsungan pembangunan nasional.
Arah perkembangan ekonomi seperti itu tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Artinya, kemajuan yang diukur melalui membesarnya produksi nasional tidak otomatis menjamin bahwa pertumbuhan mencerminkan peningkatan kesejahteraan secara merata. Bahkan pengalaman empiris menunjukkan bahwa dengan hanya pendekatan pertumbuhan yang terjadi justru adalah sebaliknya, yaitu makin melebarnya kesenjangan sosial-ekonomi; yang kaya makin kaya, yang miskin tetap miskin atau bahkan makin miskin. Masalah utamanya, adalah ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kesempatan untuk memanfaatkan peluang yang terbuka dalam proses pembangunan.
Salah satu upaya mengatasi tantangan itu adalah melalui strategi pemberdayaan masyarakat.Dasar pandangannya adalah bahwa upaya yang dilakukan harus diarahkan langsung pada akar persoalannya, yaitu meningkatkan kemampuan rakyat. Bagian yang tertinggal dalam masyarakat harus ditingkatkan kemampuannya dengan mengembangkan dan mendinamisasikan potensinya, dengan kata lain, memberdayakannya.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering and sustainable" (Chambers, 1995).
Secara praktis upaya yang merupakan pengerahan sumberdaya untuk mengembangkan potensi ekonomi rakyat ini akan meningkatkan produktivitas rakyat sehingga baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam di sekitar keberadaan rakyat dapat ditingkatkan produktivitasnya. Dengan demi-kian, rakyat dan lingkungannya mampu secara partisipatif menghasilkan dan menumbuhkan nilai tambah ekonomis. Rakyat miskin atau yang berada pada posisi belum termanfaatkan secara penuh potensinya akan meningkat bukan hanya ekonominya, tetapi juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga dirinya. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomis, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern –seperti kerja keras, disiplin, taat azas, taat waktu, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban—adalah bagian pokok dari upaya pemberdayaan ini. Peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat, kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, dan pengamalan demokrasi.
Kesemuanya itu merupakan tantangan yang dihadapkan kepada negara, yang berkewajiban untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyatnya. Dengan sendirinya aparat negara atau administrasi publik-lah yang memegang tanggung jawab utama mewujudkan berbagai cita-cita dan keinginan membangun kehidupan yang lebih baik itu.